Wednesday, December 26, 2007

Masalah pemilihan kata

Kata 'si' yang diikuti dengan kata sifat adalah sebagai kata ganti orang ketiga, yang menggambarkan sifat yang menonjol dari orang tersebut. Penggunaan kata si dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap sifat baik atau buruk yang disandang seseorang. Contoh, si pejuang, si hebat, si pecundang si penghianat dan seterusnya.
Bagaimana dengan judul di atas? Kesan apa yang muncul saat mengatakan si G**a? Tidak salah, kesan negatiflah yang menonjol. Yang terbayang adalah seorang yang akan kita hindari bila bertemu, yang tidak kita ingini berada disekitar kita. Entah karena kesan berbahaya, atau karena perilaku dan pikirannya yang tidak sama dengan cara pikir dan perilaku kita. Karenanya banyak yang memperlakukan penderita seolah-olah mereka bukanlah bagian dari masyarakat dan perlu disingkirkan. Terutama jika kita kedatangan tamu agung.

Masyarakat Indonesia sebenarnya sangat menyadari besarnya pengaruh pemilihan kata, terutama yang bersifat negatif, terhadap penilaian dan sikap masyarakat. Kata yang negatif akan mendorong anggota masyarakat untuk menghakimi. Karenanya kini di dalam bahasa tulis telah sangat jarang kita jumpai kata 'pelacur' atau WTS (wanita tuna susila) yang berkonotasi negatif, digantikan dengan istilah PSK (pekerja seks komersial). Media tidak mengatakan orang cacat, melainkan kaum difabel. Juga kata 'penjara' yang berkonotasi menyeramkan diganti dengan Lembaga permasyarakatan. Anda dapat dengan mudah menemukan kata-kata yang lain.
Bagaimana dengan kata G**a?
Seharusnya masyarakat dengan bantuan profesional dapat menemukan kata lain yang lebih tepatuntuk memberi gambaran tentang penderita. Model akronim yang telah banyak digunakan dalam bahasa dapat juga dipakai. Misalnya: MAWAS (manusia dengan masalah jiwa serius), ODMK (orang dengan masalah kejiwaan), IDMAP (Individu dengan masalah psikiatri), atau berbagai kombinasi singkatan yang mungkin. Atau dapat menggali dari kekayaan bahasa daerah yang lebih bersifat positif. Kita semua bisa menemukan kata atau singkatan yang sesuai. silahkan meberikan usulan. Namun yang lebih penting adalah kesepakatan bersama dan kemudian menginformasikan pada seluruh media untuk dapat digunakan pada bahasa tulis mereka. Anda kata atau istilah yang lebih baik? Silahkan usulkan.

'Comedy Cafe' tanpa rasa

Bagi saya, makan di Comedy Cafe ini menjadi tidak menyenangkan. Dekorasi dan interior yang dibuat untuk menciptakan kesan lucu dan menyenangkan menjadi rusak dengan adanya poster di atas. Saya bingung dengan apa yang ada dalam benak pengelola cafe ini saat menciptakan kalimat dalam poster ini. Apapun maksudnya, jelas mereka sudah terbiasa mengolok-olok penderita gangguan jiwa. komedi yang menjadikan penderita sebagai objek telah lama ada dan dinikmati masyarakat tanpa rasa bersalah. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa sebagian besar penderita dan keluarganya sangat keberatan dengan komedi seperti ini. Dari beberapa data penelitian banyak dari mereka yang merasa dipermainkan, dipermalukan, dan dilecehkan. Sayang tidak ada penderita dan keluarganya yang berani untuk melawan arus komedi yang sangat kuat ini. Akhirnya komedi seperti ini hanya menambah beban emosi penderita dan keluarga dan membuat mereka menjadi semakin tidakpercaya diri dan untuk menghindarinya mereka menjauh dari kehidupan sosial masyarakat.
Dengan demikian, perhitungan pengelola cafe ini ada benarnya. Karena merasa akan dipermalukan dan ditolak dalam kehidupan masyarakat, maka pemilik cafe ini sangat yakin bahwa penderita ganguan jiwa tidak akan datang untuk memanfaatkan diskon gede-gedean ini.
Bagaimana dengan para penderita? Ada yang ingin memanfaatkan diskon ini? Saya akan dengan senang hati membuatkan surat keterangan yang diperlukan.


Tuesday, December 25, 2007

Stigma dalam berita



Inilah contoh berita yang melanggengkan persepsi negatif terhadap penderita gangguan jiwa. Dua alinea utama dalam berita ini menyampaikan pesan kuat bahwa penderita gangguan jiwa adalah berbahaya, mengganggu dan mengancam masyarakat umum. Pesan ini jelas keliru!
Banyak data ilmiah yang telah membantah kesan keliru ini. Namun sayangnya wartawan dan media kurang berusaha mencari tahu tentang kebenaran persepsi ini dan cenderung mempertahan kesan ini. mungkin karena pesan inilah yang laku jual.

Berita ini sangat tidak memanusiakan penderita gangguan jiwa. Terkesan mereka adalah bukan bagian dari masyarakat yang sedang menderita, yang perlu pertolongan, melainkan sempalan yang perlu disingkirkan.
Di Indonesia ini jarang ditemui tulisan atau berita tentang penderita gangguan jiwa yang mendorong sikap empati masyarakat. Sangat berbeda dengan berita tentang mereka yang menderita sakit fisik. Contoh, berita tentang penderita penyakit kulit yang dijuluki "manusia pohon". Dengan cara tertentu media berhasil membangkitkan empati masyarakat dan mendorong perhatian dan penanganan yang segera dari pemerintah. Kunci dari berita yang baik adalah menampilkan penderita bukan hanya sebagai objek yang dipandang dari jarak jauh. Tulisan sebaiknya menyajikan penderita sebagai subjek dengan menyuguhkan penderitaan yang dialami selama menderita penyakit, baik yang dialami penderita maupun keluarga dekatnya. Juga usaha-usaha yang telah dilakukan maupun yang seharusnya dilakukan untuk menyembuhkan mereka. Dan lebih penting lagi adalah mendorong terciptanya sistim yang baik yang mampu menekan jumlah penderita yang tidak diobati. dengan pengobatn yang baik, sebagian penderita kan sembuh dan mampu berada di tengah masyarakat.

Wednesday, December 12, 2007

Perda yang meresahkan

Sebelumnya saya merasa Peraturan Daerah yang kontroversial mengenai Ketertiban Umum di DKI Jakarta barulah rancangan. Ternyata keliru, kini Perda tersebut telah sah, menjadi Perda No 8/2007 tentang Ketertiban Umum (Perda Tibum). Perda ini bertujuan baik, yaitu membuat Jakarta menjadi lebih bersih dan manusiawi. Namun sayang, penekanannya hanyalah dari sudut penertiban atau pembersihan Jakarta dari pemandangan yang kurang enak, tanpa mencari pemecahan masalah yang mendasar. Bak mengobati TBC, Perda ini hanyalah obat batuk.
Salah satu pasal yang kontroversial adalah pasal 41 yang isinya: Setiap orang yang mengidap penyakit yang meresahkan masyarakat tidak diperkenankan berada di jalan, jalur hijau, taman, dan tempat-tempat umum lainnya. Dan dalam penjelasannya: Yang dimaksud dengan penyakit yang meresahkan masyarakat antara lain: kusta/lepra, psikotik (gangguan jiwa). Jelas pasal ini sangat meresahkan penderita dan keluarga. Bayangkan, penderita dilarang untuk berada di taman, jalan, mal, sekolah dan tempat umum lainnya. Apakah dengan menderita psikotik maka mereka kehilangan hak untuk menggunakan tempat umum? Apakah mereka harus selamanya terkurung di rumah?
Sangat tepat apa yang dikatakan oleh Dr. Suryo Dharmono pada kesempatan dialog publik tentang perda ini akhir November 2007 lalu. Beliau mengatakan, jika benar masyarakat resah oleh penderita psikotik, maka masyarakatlah yang seharusnya diobati. Berikanlah informasi dan yang memadai tentang penyakit ini. Buatlah program agar masyarakat dengan senang menerima penderita di tengah kehidupan mereka, dan bukan mengucilkan. Inilah yang seharusnya dilakukan, dan ini sesuai dengan prinsip pengobatan moderen.
Lebih jauh, istilah 'penyakit yang meresahkan' tidak dikenal dalam dunia kedokteran. Penyakit adalah kondisi yang memerlukan pengobatan. Masyarakat, sesuai dengan prinsip kemanusiaan, haruslah mempunyai nurani untuk menolong penderita tanpa kecuali. Pertolongan baik fisik maupun psikis, yang diterima oleh penderita penyakit apapun akan membuat kondisi fisik dan mental mereka menjadi lebih baik. Hanya pada penyakit infeksi yang dikategorikan sangat menular, penderita harus dikarantina. Jelas kondisi penyakitlah yang menentukan apakah penderita harus dikarantina, bukan karena masyarakat menjadi resah. Dan penyakit yang meresahkan masyarakat sebenarnya lebih tepat ditujukan untuk pelaku kejahatan, preman jalanan ataupun supir ugal-ugalan yang membahayakan.
Jelas perda ini meresahkan, dan karenanya tanpa ragu perda ini harus ditolak.

Ir

Monday, December 10, 2007

Komedi yang tak lucu

Ada acara baru di Trans TV tiap Minggu malam namanya "Akhirnya datang juga". Menurut majalah Tempo edisi 10 Desember 2007, acara ini merupakan komedi adaptasi dari "Thank God You're Here" yang berasal dari Net-work Ten, televisi Australia. acara ini adalah komedi improvisasi, artinya semua pemain tamu yang menjadi bintang tidak dibekali skenario, sehingga hiburan akan tergantung dari kehebatan improvisasi dari sang bintang.
Saya sendiri belum pernah menonton acara ini. Namun laporan dalam rubrik televisi di majalah Tempo ini menarik perhatian saya. Sepengal cerita disajikan sebagai contoh komedi improvisasi ini. Bisa ditebak, komedi ini mempermainkan penderita gangguan jiwa. Seorang bintang yang menjadi tamu disuruh berperan sebagai dokter, dan masuk ruangan menemui suster yang seksi dan genit. 'Dokter' yang diperankan bintang tamu ini tergoda. Akhir cerita, ada kolega 'dokter' datang mengingatkan. Sang 'dokter' hanya seyum kecut, karena ketahuan berbuat salah berpacaran dengan suster. Saat diberi tahu bahwa yang dilarang adalah dokter berpacaran dengan pasien, sang 'dokter' inipun bengong. Dan keadaan menjadi lebih seru lagi saat dikatakan bahwa suster genit itu sebenarnya adalag pasien gangguan jiwa.
Jelas, ini jenis lelucon yang mentertawakan diri sendiri. Sayangnya yang ditertawakan bukanlah kebodohan dokter yang ketahuan berpacaran dengan suster yang seksi. Juga bukan dokter yang berpacaran dengan pasien, namun seorang dokter yang ketahuan tergoda berpacaran dengan penderita gangguan jiwa.
Cerita ini lagi-lagi memperkuat kesan negatif terhadap penderita ganguan jiwa. Bahwa mereka adalah seseorang yang tidak patut di dekati. jadi bisa dibayangkan bila seseorang bukan hanya dekat, tetapi juga naksir dan perpacaran dengan penderita gangguan jiwa, pastilah dianggap sebagai suatu kebodohan, suatu aib. Dan karenanya semua tertawa, mentertawakan kebodohannya dan sekaligus mentertawakan penderita gangguan jiwa. tidak peduli mereka jauh lebih keren dari orang kebanyakan, tidak peduli bahwa mereka jauh lebih menarik, lebih seksi, lebih menggetarkan hati, namun saat tahu bahwa ia seorang penderita, maka kesanpun berubah berbalik arah.
Apakah komedi seperti ini akan terus kita biarkan muncul dalam panggung hiburan kita?

Ir

Thursday, July 12, 2007

Hormati manusia, tanpa kecuali.


Anak saya, siswa SMP, mengadu: dalam salah satu buku lembar kerja siswa pelajaran PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) terdapat soal; Sebagai warga masyarakat yang baik kita harus menghormati semua manusia kecuali: A) polisi, B) guru, C) orang tua dan D) orang yang menderita gangguan jiwa. Ini pertanyaan yang sangat tendensius. Siswa diarahkan untuk memilih jawaban D. Jelas, penulis buku ini beranggapan bahwa penderita gangguan jiwa tidak perlu dihormati. Anggapan yang diskriminatif dan sangat keliru. Anak saya yang terganggu dengan soal ini langsung melancarkan protes dengan tidak memilih jawaban yang tersedia dan menuliskan jawabannya sendiri: Setiap orang harus dihormati, tanpa kecuali!

Menghormati sesama manusia harus ditanamkan sejak usia dini, agar sikap ini dapat tertanam kuat dalam pribadi dewasanya. Proses pembelajaran di tingkat SMP tentang menghormati manusia patut mendapat pujian. Dengan pembelajaran sejak usia dini, terlebih melalui pelajaran formal diharapkan akan menciptakan manusia dewasa yang peduli dengan sesamanya tanpa melihat asal suku bangsa, ras, agama dan kepercayaan. Sikap peduli dari tiap individu menjadi dasar penting untuk membentuk masyarakat dengan peradapan dan budaya yang agung. Sikap ini juga sejalan dengan salah falsafah hidup negara kita, kemanusiaan yang adil dan beradab. Sayang, upaya mulia dalam pendidikan ini ternoda dengan pertanyaan di atas, yang bisa memberi kesan bahwa penderita gangguan jiwa tidak perlu dihormati.

Hormati keberadaan semua orang, tanpa kecuali. Mendapatkan rasa hormat bukan hanya hak dari orang tua, guru, polisi, dan pejabat melainkan hak dasar dari semua manusia. Mereka yang mengelandang, mereka yang papa, juga mereka yang cacat, berhak mendapatkan rasa hormat. Bahkan para tahanan yang telah mendapat keputusan bersalah, tetap mempunyai hak untuk dihormati. Perlakuan tanpa respek, tanpa rasa hormat akan mengusik rasa kemanusiaan masyarakat yang peduli.

Khusus kepada mereka yang sedang sakit, termasuk kepada mereka yang cacat, bukan hanya penghormatan yang harus diberikan tetapi juga bantuan untuk mengembalikan mereka pada keadaan sehat, membantu mereka agar dapat kembali kedalam kehidupan yang normal. Karenanya sangat disayangkan terdapat ajaran yang salah, yang diskriminatif dan yang sama sekali jauh dari sikap peka kemanusiaan yang diharapkan. Sekali lagi penderita gangguan jiwa bukan hanya harus dihormati tetapi juga harus dibantu untuk mencapai pemulihan.

-Irm-